Market

Ancaman Resesi Seperti Teror, Perlukah Kita Khawatir?

Resesi seperti menjadi hantu baru. Yang menggaungkan ancaman resesi pun tak tanggung, tanggung, sekelas presiden, mantan presiden, dan menteri yang mengurus soal keuangan di negeri ini. Benarkah kita dalam ancaman resesi?

Ancaman atau dengan kata lain teror tentang resesi ini tak tanggung-tanggung muncul dari para petinggi negeri. Presiden Joko Widodo beberapa kali mengungkapkan ancaman resesi global yang bakal mengadang.

Dalam beberapa kesempatan Jokowi menggunakan berbagai pilihan kata atau diksi yang menggambarkan situasi perekonomian global. Seperti diistilahkan dengan awan gelap, kondisi penuh tangangan hingga badai besar yang akan dihadapi dunia tahun depan.

Hal ini seiring dengan kondisi geopolitik yang terus bergejolak, yang memacu lonjakan harga komoditas terutama energy dan pangan. Situasi ini ikut mendorong peningkatan inflasi sehingga akan berpengaruh negatif terhadap perekonomian global.

“Tahun ini sulit dan tahun depan, sekali lagi saya sampaikan akan gelap, dan kita tidak tahu badai besarnya seperti apa, sekuat apa tidak bisa dikalkulasi,” ujar Jokowi pada sebuah kesempatan.

Ancaman serupa juga diungkapkan mantan Presiden Soesilo Bambang Yoedhoyono. SBY menyebut bahwa resesi ekonomi global pasti semakin memukul kehidupan semua bangsa, yang saat ini sudah dalam keadaan sulit. Ia khawatir dampak perang dapat memukul kondisi masyarakat banyak dan mempersulit ekonomi mereka.

“Kita tidak tahu dampak buruk jika krisis ekonomi global terjadi disertai ‘cost of living crisis‘, dan perang besar terjadi di Eropa yang melibatkan barat (AS dan sekutunya) melawan Rusia dan sekutunya. Tentunya kita tidak ingin mengalami lagi Great Depression sebelum Perang Dunia II dulu,” tulis SBY dalam cuitan di akun Twitter-nya, dikutip pada Senin (17/10/2022).

Pernyataan bernada serupa juga diungkapkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati. Menurut dia, ketegangan geopolitik yang tengah berlangsung memberikan dampak besar pada krisis pangan dan energi, inflasi yang tinggi, serta pengetatan kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga acuan.

Menkeu mengungkapkan, banyak negara tertekan menghadapi situasi ini. Berbagai risiko kini memberikan ancaman pada perlemahan ekonomi dunia. “Dampaknya? Beberapa negara benar-benar memerlukan bantuan serius. Kita tak bisa membiarkan hal ini terjadi tanpa melakukan apapun. Harus ada tindakan nyata untuk memitigasi risiko ancaman resesi. Di sinilah forum G20 mengambil peran,” kata Sri Mulyani di Washington DC, dikutip Selasa (18/10/2022).

Kondisi perekonomian global memang sedang tidak baik-baik saja. International Monetary Fund (IMF) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global 2023 menjadi 2,7 persen. Padahal, pada Januari 2022 lembaga itu masih meyakini pertumbuhan ekonomi tahun depan pada level 3,8 persen dan Juli 2022 masih di 2,9 persen, artinya prospek 2023 terus menurun.

Kondisi ini bisa lebih buruk lagi jika perang antara Rusia dan Ukraina semakin membesar bahkan memicu perang nuklir. Ini akan semakin membahayakan keamanan internasional dan pengaruhnya sangat besar terhadap perekonomian. Akan lebih memburuk lagi jika konflik geopolitik terus memanas dan menjadi konflik militer terbuka, misalnya antara China melawan Taiwan dan melibatkan para pendukungnya.

Apa itu Resesi?

Pengertian yang lebih sederhana dan lazim digunakan, disajikan oleh Julius Shiskin pada tahun 1974, yang menyatakan resesi adalah penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) yang terjadi selama dua kuartal berturut-turut. Namun, beberapa ahli lain berpendapat resesi tidak bisa dilihat dari PDB saja, tetapi ditentukan terhadap penilaian ekonom atas aktivitas ekonomi didasarkan pada pandangan holistik terhadap sejumlah data termasuk pasar tenaga kerja, belanja konsumen dan bisnis, produksi industri, dan pendapatan.

Menurut National Bureaus of Economic Research (NBER) AS, resesi adalah penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.

Business Insider menyebutkan bahwa terdapat beberapa penyebab resesi, di antaranya guncangan ekonomi. Biasanya terjadi peristiwa tak terduga menyebabkan gangguan ekonomi yang meluas, seperti bencana alam atau serangan teroris. Contoh terbaru adalah pandemi COVID-19 yang melanda semua negara. Bisa juga karena perang berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina.

Penyebab lainnya adalah kehilangan kepercayaan konsumen, suku bunga tinggi, inflasi atau deflasi terlalu tinggi hingga gelembung asset. Resesi juga dipicu terjadinya pelemahan daya beli masyarakat.

Resesi tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja, tapi juga berkaitan dengan berkembangnya teknologi. Adanya revolusi industri membuat Artificial Intelligence (Al) dan juga robot akan menggantikan banyak dari pekerjaan manusia. Jika hal ini terjadi, maka akan banyak pekerja yang berpotensi dirumahkan dan menjadi pengangguran sehingga resesi tidak dapat dihindarkan.

Resesi juga dipengaruhi oleh ketidakstabilan dari investasi, pendapatan nasional, konsumsi, pengeluaran, hingga ekspor-impor. Jika hal tersebut terjadi terus-menerus dalam jangka waktu yang lama, maka resesi akan sulit untuk dihindari. Hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi di suatu negara secara negatif hingga dua kuartal berturut-turut.

Di sektor produksi terjadi kelebihan produksi sehingga stok barang akan menumpuk. Sementara kondisi sebaliknya jika jumlah konsumsi lebih banyak dibanding produksi, berpotensi mendorong impor besar-besaran. Kondisi produksi dan konsumsi yang tidak seimbang dapat menyebabkan pengeluaran melambung tinggi dan laba perusahaan di dalam negeri semakin menipis.

Resesi juga ditandai dengan menurunnya lapangan pekerjaan membuat meningkatnya angka pengangguran sebagai akibat lemahnya pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jika hal ini terjadi, maka akan menyebabkan tingkat kriminalitas yang tinggi. Karena semakin banyak perbuatan kriminal negara, maka dapat membuat investor kehilangan kepercayaan untuk menanamkan modal dan pada akhirnya suatu negara berpeluang untuk jatuh ke jurang resesi.

Indonesia Memasuki Resesi?

Banyak orang bertanya-tanya, akankah resesi ekonomi menghampiri Indonesia? Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto termasuk ekonom yang tak percaya bahwa resesi konomi akan menyerang Indonesia pada tahun depan. Tentu saja ada argumentasinya. “Selama Indonesia bisa menjaga laju ekonomi domestik di zona positif, risiko resesi pada tahun depan bisa dihindari,” ujar Eko, Senin (17/10/2022).

Optimalisasi ekonomi domestik sangat diperlukan untuk menghindari resesi. Apalagi saat ini, keterbukaan ekonomi Indonesia masih relatif rendah. Eko berharap, tim ekonomi Presiden Jokowi mampu memaksimalkan tren positif dari pertumbuhan ekonomi domestik.

Tahun ini, perekonomian Indonesia punya modal kuat untuk terhindar dari resesi, karena positif dalam dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal I-2022, perekonomian tumbuh 5,01 persen, sedangkan kuartal II-2022 sebesar 5,4 persen. Dan, Semester III-2022, Bank Indonesia meramal lebih tinggi yakni 5,5 persen.

Berbeda saat pandemi di 2020, Indonesia terlihat lebih siap dalam menghadapi ancaman resesi atau krisis ekonomi. “Saat ini, tingkat kesiapan lebih baik. Namun demikian, dampak jangka pendek terhadap risiko arus modal keluar memang perlu diwaspadai agar tidak membuat rentan kurs rupiah,” tutur Eko.

Situasi Indonesia mengarah pada resesi atau tidak, semuanya akan bergantung strategi dari tim ekonomi pemerintah. Salah melakukan antisipasi terhadap kondisi perekonomian global bisa menjadi pertaruhan bagi nasib perekonomian nasional.

Back to top button