News

Anak PKI Bebas Berbakti, Upaya Rekonsiliasi Tak Perlu Dipaksakan

Sikap Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang membuka kesempatan bagi keturunan PKI ikut seleksi prajurit semakin membuktikan proses rekonsiliasi sudah berjalan secara alamiah. Menko Polhukam Mahfud MD menilai keterbukaan negara terhadap mereka yang terpinggirkan karena faktor politik sejatinya sudah berlangsung sejak lama.

Menurut Mahfud, rekonsiliasi lebih baik berjalan secara alamiah tanpa melalui seremoni, kendati banyak pihak mendorong adanya rekonsiliasi sebagai bentuk pengakuan formal dari negara terhadap korban yang diperlakukan diskriminatif.

“Alamiah saja seperti sekarang,“ kata Mahfud, usai memberikan ceramah tarawih di Masjid UGM, Minggu (3/42022) malam. “Kalau direncanakan ada upacara ada panitia ada keputusannya malah endak jadi. Ramai bertengkar lagi,” tambahnya.

Mahfud mengaku bisa memahami sikap Panglima TNI dan mengakui adanya praktik diskriminatif oleh negara pada masa lalu melalui mekanisme bersih lingkungan. Namun ketentuan tersebut sudah tidak berlaku lagi, bahkan Mahkamah Konstitusi sudah membuka kesempatan kepada seluruh anak negeri berkarier menjadi pejabat publik.

“Kita pilih orangnya, meski bukan keturunan PKI kalau ideologinya PKI ya jangan diterima,” bebernya.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, berharap pelabelan atau stigma komunis tanpa proses peradilan tidak terulang lagi. Dia menilai labelisasi ini yang mengakibatkan adanya praktik diskriminatif.

Taufan mengaku pernah bertemu dengan orang-orang PKI bahkan mereka yang dilabeli komunis ketika mengunjungi Eropa. Mereka yang dilabeli komunis ini harus hidup sebagai eksil padahal sama sekali tidak terkait dengan peristiwa 1965.

“Marilah kita bernegara ini dalam sektor apa pun berangkat dari konstitusi yang ada atau peraturan perundang-undangan bukan asumsi politik,” ujar dia.

Terkait keputusan Jenderal Andika, Komnas HAM menilai keputusan tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun dia juga mendorong TNI tetap menerapkan instrumen yang ketat untuk memastikan calon prajurit tidak terpengaruh ideologi terlarang.

Dia turut meyakini TNI memiliki instrumen yang baku dalam seleksi prajurit. Contoh kasusnya terlihat dari kasus Enzo Zenz Allie yang mengikuti seleksi Akademi Militer (Akmil). Saat itu banyak pihak yang meragukan pemuda berdarah Prancis tersebut karena diduga terseret organisasi yang dilarang pemerintah.

Namun faktanya, ujar Taufan, TNI melalui instrumen rekrutmen yang digunakan tidak menemukan indikasi Enzo terlibat atau terpapar ideologi terlarang sebagaimana yang diasumsikan banyak orang.

“Jadi saya rasa kalau masuk TNI, mereka menjadi prajurit yang mencintai Tanah Air dan membela bangsa dan negara,” ujarnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button