Hangout

Amplop Kiai dan Kesalahpahaman Tradisi

Bukan rahasia lagi kalau para ahli ilmu agama baik dengan sebutan ulama, kiai, habib, Gus, Aa, maupun ustaz, biasa menerima amplop usai berceramah/tausiyah. Mengajar atau melantunkan ayat-ayat suci Alquran juga ada amplopnya.

Bahkan sering juga terdengar besaran amplop yang diberikan tergantung dari popularitas sang penceramah itu. Bila ia sedang di puncak popularitas, bayarannya sangat mahal di kisaran puluhan juta rupiah sekali ceramah. Mereka punya managemen, ada stafnya. Bila Anda butuh penceramah yang sedang beken, maka kontak personnya melalui sang asisten alias stafnya itu.

Maka, tidak heran bila banyak penceramah agama dengan sebutan-sebutan di atas yang hidupnya sejahtera. Saat mau berceramah saja ia datang menggunakan mobil mewah Alphard, misalnya.

Tidak heran pula bila para orangtua kini banyak yang memasukan anak-anak mereka ke jalur pendidikan agama ke pesantren, dengan harapan masa depannya menjadi ahli agama yang cemerlang.

Terkait amplop kiai atau tradisi memberi buah tangan (bisyarah) kepada kiai memang tengah ramai dalam pemberitaan media, seiring adanya kesalahpahaman terhadap tradisi yang telah berlangsung sejak lama.

Ustaz Ahmad Muntaha AM mengakui bahwa tradisi tersebut dianggap sebagai masalah riil berkaitan dengan korupsi yang harus diselesaikan saat ini.

“Ini adalah problem riil yang (harus) diperbaiki saat ini. Demikian asumsi yang muncul berkaitan dengan amplop kiai,” tuturnya.

Sebenarnya seperti apa sih aturan mainnya?

Sebagaimana disebutkan di atas, istilah kiai secara umum dipahami sebag alim ulama atau cerdik pandai agama Islam. Semisal istilah kiai kampung, yaitu sosok yang dianggap paling dapat dipercaya dalam urusan agama di lingkungan kampung.

“Selain itu ada pula kiai pesantren, kiai panggung, dan corak kiai lainnya sebagaimana umumnya penyebutan masyarakat muslim kepada para kiai mereka,” kata Ustaz Ahmad Muntaha.

Bila diamati dari sisi motifnya, lanjut dia, tradisi pemberian amplop kiai ini ada bermacam-macam. Minimal ada tiga kategori utama. Yakni:

Pertama, pemberian amplop kiai karena imbal balik atas jasa ceramah, mengajar Alquran atau keilmuan lainnya, jelas hal ini diperbolehkan, sebab mereka tidak mendapatkan gaji dari baitul mal sebagaimana tempo dulu di masa kerajaan-kerajaan Islam. Andaikan mereka dipaksa bekerja semua, maka tidak akan ada yang mau mengajarnya.

Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan,

“Ulama muta’akhirin mengeluarkan fatwa mubah bagi seseorang untuk menerima insentif atas pengajaran Alquran, tugas keimaman salat, tugas khutbah, tugas adzan, dan seluruh aktivitas keagamaan lain seperti salat puasa, dan haji … Karena bila mereka sibuk bekerja di bidang pertanian, perdagangan, atau atau perburuhan, maka syiar-syiar keagamaan akan terbengkalai.”

(Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman 23).

Kedua, pemberian ‘amplop kiai’ karena menjadi sumbangan untuk pembangunan masjid, pesantren dan fasilitas keagamaan, maka lebih jelas lagi kebolehannya untuk syiar dan kemaslahatan.

Ketiga, pemberian amplop kiai karena murni sebagai ekspresi kecintaan masyarakat kepada kiai, mengingat kiprah keagamaannya di tengah kehidupan masyarakat.

Pemberian seperti itu juga boleh diterima, asalkan ia memang benar-benar berkiprah dalam bidang keagamaan di tengah kehidupan masyarakat, sebagaimana dugaan pemberi. (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah], juz 2, halaman 145).

Dengan demikian, tidak ada masalah dalam tradisi pemberian amplop kiai seperti tradisi yang telah berlangsung di tengah masyarakat muslim Indonesia selama ini. Ini merupakan tradisi yang baik dan layak dilestarikan. Hanya, pihak penerima pada masa sekarang harus lebih selektif dan berhati-hati. Terlebih bila ada indikasi harta yang diberikan adalah hasil tindak kejahatan korupsi, judi, dan bisnis-bisnis haram lainnya

“Jangan sampai hanya karena menerima pemberian amplop kiai, tapi justru terjerat kejahatan tindak pidana pencucian uang sebagaimana ketentuan undang-undang atau hukum positif yang berlaku ,” jelas ustaz yang juga Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online itu.

Pemberian amplop kiai di kalangan umat Islam Indonesia sendiri sebenarnya tidak menjadi soal. Hanya saja besarannya yang perlu diperhatikan kembali. Sebab, di kalangan umat Islam di perkampungan kebanyakan mereka harus urunan bila ingin mendatangkan seorang penceramah.

Walhasil mereka tidak akan mampu mendatangkan penceramah terlebih yang sedang populer dengan bayaran hingga puluhan juta rupiah. Padahal mereka sangat ingin sekali mendapatkan pengetahuan agama atau siraman rohani, dari penceramah dengan kadar keilmuannya yang sangat mumpuni.

Back to top button