Pada tanggal 26 Juli 2024, pemerintah secara resmi menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Peraturan ini kemudian sempat viral di media massa, baik daring maupun luring, dan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian masyarakat menilai PP ini merupakan upaya pemerintah untuk membentengi remaja dari perilaku seksual berisiko, sementara yang kontra khawatir bahwa PP ini justru menjerumuskan remaja untuk melakukan seks bebas.
Bila dilihat lebih seksama, pasal yang menjadi sumber pro dan kontra ini adalah pasal yang membahas penyediaan alat kontrasepsi bagi mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Lebih tepatnya, pasal 103 ayat 4 menerangkan bahwa “Pelayanan Kesehatan Reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitasi, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.”
Agen Sosialisasi Pendidikan Seksualitas
Bila berbicara mengenai KIE, artinya berbicara mengenai proses sosialisasi, dalam konteks ini sosialisasi mengenai isu yang berkaitan dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi merupakan hak warga negara yang harus dipenuhi; artinya, setiap individu berhak untuk mendapatkan informasi yang kredibel terkait isu tersebut. UNESCO (2018) dalam laporannya menyebutkan bahwa pendidikan seksualitas adalah proses pembelajaran yang terus berlangsung seumur hidup yang berguna bagi individu untuk mengambil keputusan yang berpengaruh terhadap kehidupan seksualnya secara bertanggung jawab.
Dalam proses pembelajaran ini, UNESCO (2016) menyebutkan bahwa penyampaian pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi di sekolah telah memberikan efek positif bagi para peserta didik dalam konteks pengetahuan dan sikap terhadap isu seksualitas dan kesehatan reproduksi. Lebih lanjut, sekolah dianggap sebagai tempat yang paling cocok karena kebanyakan anak usia sekolah menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dan diyakini memiliki infrastruktur yang mendukung untuk memberikan pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Namun, dalam konteks Indonesia, sepertinya pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi belum menjadi perhatian utama hingga saat ini. Beberapa studi menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi belum menjadi kurikulum tersendiri dan disematkan ke dalam beberapa mata pelajaran yang dianggap berhubungan, seperti biologi dan pendidikan jasmani (Pakasi & Kartikawati, 2013; Utomo dkk., 2010).
Kondisi ini kemudian berdampak pada kurang komprehensifnya pemberian pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi di sekolah dan cenderung menggunakan pendekatan abstinence atau menghindari isu-isu tertentu yang dianggap tabu. Bagi para orang tua, viralnya pemberitaan mengenai penyediaan alat kontrasepsi bagi remaja pada PP No 28 Tahun 2024 kiranya perlu disambut dengan membuka keran diskusi antara orang tua dan anak dalam membahas isu seksualitas dan kesehatan reproduksi yang selama ini mungkin tertutup rapat dan tidak pernah hadir di dalam ruang perbincangan di tengah keluarga.
Kondisi ini ternyata sudah terjadi sejak lama dan terjadi di berbagai negara. Sebuah studi yang dilakukan oleh Benshoff dan Alexander pada tahun 1993 menunjukkan bahwa terdapat beberapa alasan mengapa orang tua kerap enggan membahas isu seksualitas dan kesehatan reproduksi dengan anaknya. Di antaranya adalah isu seksualitas yang dianggap tabu, kebanyakan orang tua belum memiliki pengetahuan yang cukup terkait isu seksualitas dan kesehatan reproduksi, miskonsepsi orang tua dalam menyikapi isu yang berkaitan dengan seksualitas, dan kebanyakan orang tua tidak memiliki role model dari orang tuanya dulu.
Kondisi ini nyatanya masih berlanjut hingga saat ini. Dalam studi yang dilakukan di salah satu daerah di Indonesia pada tahun 2018 oleh Nurachmah dan kolega, ditemukan bahwa isu seksualitas adalah isu yang sangat jarang dibahas antara ibu dan anak. Hal ini didasari oleh faktor perasaan malu dan menganggap bahwa isu seksualitas merupakan isu yang tidak pantas untuk dibahas di tengah keluarga karena bertolak belakang dengan nilai-nilai kebudayaan. Bila kondisi komunikasi yang tertutup ini terus terjadi, dikhawatirkan akan berpotensi pada minimnya pengetahuan anak terkait isu seksualitas dan kesehatan reproduksi yang kemudian dapat menempatkan anak pada kondisi riskan terkena dampak negatif dari hal-hal yang berkaitan dengan isu seksualitas, seperti kehamilan di luar nikah, kekerasan seksual, penyakit menular seksual (PMS), dan lain-lain.
Tanpa bermaksud menggurui, orang tua perlu sadar bahwa di era yang semakin digital, anak dapat memperoleh berbagai informasi secara singkat melalui smartphone yang dimilikinya. Dalam urusan seksualitas, anak bisa saja mendapat informasi dari media atau dari teman sebaya yang kredibilitasnya perlu dipertanyakan. Selain itu, orang tua perlu menyadari bahwa membahas isu seputar seksualitas tidak lantas mendorong anak untuk melakukan hubungan seksual. Memang diperlukan pemahaman mengenai konten yang sesuai dengan perkembangan anak berdasarkan usianya.
Dalam konteks isu penyediaan alat kontrasepsi, misalnya, diskusi ini bisa dilakukan dengan anak yang mulai menginjak usia remaja, karena pada fase remaja, studi menunjukkan bahwa inisiasi remaja untuk mengeksplor hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas mulai terjadi (Hegde dkk., 2022). Oleh karena itu, membuka diskusi mengenai alat kontrasepsi menjadi penting untuk membekali remaja dengan pengetahuan yang cukup, sehingga diharapkan remaja dapat mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
Pada dasarnya, pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi berupaya untuk membekali anak dengan pengetahuan yang baik demi menjaga kesehatan dan kebersihan organ reproduksi anak serta menghindarkan mereka dari efek negatif pergaulan bebas. Lebih lanjut, orang tua perlu menyadari bahwa seksualitas adalah hal yang berkelindan dalam kehidupan kita sebagai manusia. Seksualitas merupakan salah satu hal yang membentuk kepribadian kita, sehingga pembahasan mengenai seksualitas dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk mengenali diri kita sebagai manusia yang utuh. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk hadir sebagai sumber primer bagi anak dalam pemberian informasi seputar isu seksualitas dan kesehatan reproduksi. Hal ini didukung oleh beberapa studi yang menunjukkan bahwa anak memiliki harapan yang cukup tinggi untuk mendapatkan informasi seputar seksualitas dan kesehatan reproduksi dari orang tuanya (Maimunah dkk., 2023). Bahkan, beberapa studi juga menunjukkan bahwa orang tua memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membangun pengetahuan dan sikap anak, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan seksualitas (Binti Abdullah dkk., 2020).
Urgensi Peningkatan Kapasitas Pengetahuan Seputar Isu Seksualitas Bagi Orang Tua
Dari gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya sekolah belum mampu memberikan pendidikan seksualitas yang komprehensif. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kapasitas pengetahuan yang berkaitan dengan isu seksualitas bagi setiap orang tua. Sebuah studi yang dilakukan di China menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas pengetahuan orang tua dapat dibangun melalui kerjasama antara pihak sekolah dan orang tua (Zhang & Yuan, 2023). Dalam konteks Indonesia, keberadaan komite sekolah pada dasarnya dapat menjadi modal awal untuk melakukan hal serupa.
Selain itu, intervensi berupa pembekalan pengetahuan bagi orang tua juga dapat menjadi opsi yang dapat dilakukan. Seperti sebuah studi di Cirebon yang melakukan eksperimen sosial kepada para orang tua untuk melihat perbedaan pengetahuan dan sikap dalam isu seksualitas setelah mengikuti program. Hasil studi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan baik dari segi pengetahuan maupun sikap yang lebih positif dalam melihat isu seksualitas (Widiyastuti & Nurcahyani, 2019). Temuan ini dapat menjadi bukti yang kuat bagi pemerintah daerah melalui dinas terkait untuk menjalankan program serupa.
Terakhir, pemanfaatan sumber-sumber dari Internet juga dapat dilakukan oleh orang tua. Dari penelusuran yang penulis lakukan, terdapat beberapa modul yang dapat diakses oleh orang tua, salah satunya adalah modul yang bertajuk “Buku Saku Orang Tua Mengenal Kesehatan Reproduksi Remaja”. Konten dari modul ini kemudian dapat disesuaikan dengan latar belakang agama dan budaya orang tua untuk kemudian dapat disampaikan dalam diskusi sehat dengan anak terkait isu seksualitas.
Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa menjadi orang tua bukanlah perkara mudah. Dalam konteks pendidikan seksualitas, orang tua perlu meningkatkan kapasitasnya untuk dapat hadir sebagai sumber primer bagi anak dalam hal yang berkaitan dengan isu seksualitas, sehingga anak dapat memiliki bekal pengetahuan yang baik demi menghindari berbagai risiko yang terkait dengan isu seksualitas di masa mendatang.