Ototekno

Akhir Hayat JD.ID dan Bergugurnya Pemain Lokapasar Indonesia

Berakhirnya layanan JD.ID pada akhir Maret 2023 memberi sinyal semakin ketatnya persaingan pemain lokapasar atau e-commerce di Indonesia. Beban bisnis tanggungan para penyedia toko daring, termasuk JD.ID, diperkirakan semakin tinggi akibat ancaman resesi global. Di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi pun, industri digital juga menghadapi tenggat pengembalian investasi kepada investor.

“Saat ini wajar bila startup digital ataupun perusahaan IT tutup warung, mengurangi atau mengganti fokus bisnisnya,” ujar Pengamat Teknologi Informasi dari ICT Institute, Heru Sutadi kepada inilah.com, Selasa (31/1/2023).

Kemarin, JD.ID mengumumkan mengakhiri layanannya pada Maret 2023. Bernama resmi PT Jingdong Indonesia Pertama, JD.ID muncul dari kongsi JD.com, raksasa e-commerce asal China, dengan Provident Capital dari Singapura itu akan berhenti menerima pesanan secara permanen mulai 15 Februari nanti. Aktivitas operasional perusahaan baru ditutup total pada akhir bulan berikutnya. Dalam pernyataan resmi JD.ID, manajemen mengingatkan pembeli agar segera merampungkan segala transaksi sebelum tenggat penutupan layanan.

Menurut Heru, JD.ID bergabung dengan daftar panjang e-commerce yang terpuruk dalam perebutan pangsa konsumen. Karena pembeli sangat sensitif terhadap harga, persaingan lokal dalam bisnis e-commerce cenderung berupa perang diskon dan bonus yang harus didukung dengan modal yang besar. “Akhirnya banyak yang gagal padahal potensinya besar,” kata Heru.

Beberapa situs e-commerce populer tumbang selama pandemi. Perusahaan pemasok aplikasi bisnis di bidang fashion, Sorabel, merupakan salah satu perusahaan e-commerce yang harus merumahkan karyawannya dan penutupan pada akhir Juli 2020. Perusahaan yang dulunya bernama Sale Stock ini kehabisan cadangan kas akibat minimnya penjualan selama PSBB. Ada juga Blanja.com, joint venture antara Telkom Group dan eBay yang tutup pada 1 September 2020 karena strategi pengalihan korporasi. Marketplace pemasok kerajinan,  Qlapa bahkan menghentikan layanannya sebelum pandemi COVID-19. Manajemen mengalami kesulitan menjalankan bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan setelah empat tahun beroperasi.

Melihat hal ini tentu terlihat gamblang startup renah bisnis digital Indonesia tidak baik-baik saja terutama lokapasar kemungkinan bakal tutup karena adanya ekonomi dunia mengalami perlambatan.

“Sektor jasa IT saat ini menurun sebenarnya dari 6% ke 4% hingga memang penurunan ini tertentu juga memperkuat juga faktor lainnya konflik rusia-ukraina yang belum selesai kemudian juga bisnis digital secara internasional juga bermasalah,” kata Heru.

Efisiensi

Jauh sebelum rencana penutupan layanan, JD.ID mulai melakukan perampingan sumber daya secara bertahap — salah satunya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 200 karyawan dari berbagai posisi pada Desember lalu. Pencapaian tersebut hampir bersamaan dengan kabar bahwa manajemen JD.com di China tengah mempertimbangkan untuk hengkang dari persaingan pasar lokal di Indonesia dan Thailand.

JD.ID tercatat sebagai perusahaan rintisan Indonesia keenam yang berhasil memasuki valuasi bisnis Unicorn senilai USD 1 miliar – menyusul beberapa nama tenar seperti Gojek, Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, dan OVO. Ketika JD.ID membuka bisnisnya di Indonesia pada November 2015 lalu, JD.ID berhubungan langsung dengan sejumlah pemain e-commerce dengan basis pasar yang besar, seperti Shopee, Blibli, dan Lazada. Bisnis JD.ID yang menawarkan barang elektronik, makanan segar, dan hiburan – seperti JD.com – berkembang pesat sejak saat itu.

Pada Februari 2019, JD.ID masuk dalam putaran pertama pendanaan Seri F Gojek, menjadi unicorn pertama. Putaran modal tersebut diprakarsai oleh beberapa investor besar seperti Google dan Tencent. Ada juga modal dari perusahaan besar seperti Mitsubishi Corporation dan Provident Capital yang mendukung jalur bisnis JD.ID.

Dalam keterangan resminya, Setya Yudha Indraswara, Head of Corporate Communications and Public Affairs JD.ID mengungkapkan, penutupan layanan JD.ID merupakan bagian dari strategi JD.com untuk membangun jaringan distribusi lintas batas. “Dengan logistik dan pergudangan sebagai inti bisnisnya,” ujarnya.

Di tengah penetrasi internet berbasis mobile, semakin banyak barang yang dibeli melalui transaksi customer-to-customer (C2C), khususnya melalui media sosial atau dikenal dengan social commerce. JD.ID tampaknya telah beberapa kali mengubah model bisnisnya untuk mengakomodasi pembeli lokal, tetapi gagal.

Beban bisnis

Direktur Eksekutif Center for Economic Reform Indonesia (CORE), Mohammad Faisal, memperkirakan beban bisnis perusahaan digital akan semakin besar, terutama yang bergerak di bidang logistik dan lokapasar. Menurutnya, inflasi dapat menyebabkan akumulasi biaya distribusi barang antar pulau di dalam negeri melebihi biaya ekspor. “Karena ada tambahan biaya energi, biaya bahan baku, dan biaya staf rumah tangga,” katanya.

Ketua Asosiasi Modal Ventura Startup Indonesia (Amvesindo) Eddi Danusaputro memastikan aliran investasi ke perusahaan digital masih terus berlanjut.

Namun, investor bisa lebih ketat dalam menyaring tujuan modal. Investasi cenderung mengalir ke startup yang dapat mendorong arus kas dan meningkatkan keuntungan. Beberapa industri startup yang ia prediksi masih bertahan saat ini adalah pertanian, kesehatan, hiburan, dan logistik. “Mereka masih dibutuhkan untuk kebutuhan sehari-hari.”

Sementara itu, pada 6 November lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memprediksi transaksi e-commerce tumbuh menjadi Rp 572 triliun pada 2023.

Bank Indonesia sebelumnya mencatat target transaksi e-commerce Rp 489 triliun pada 2022 belum tercapai. Data awal BI menunjukkan transaksi e-commerce tahun lalu hanya sekitar Rp 476 triliun. Salah satu penyebabnya adalah pergerakan masyarakat yang sudah sembuh pasca relaksasi Pembatasan Kegiatan Normal (PPKM).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button