Kanal

Adiksi Sensasi

Cobalah beli mobil baru. Biasanya Anda akan berpikir panjang tentang fitur-fitur yang dimiliki mobil itu, ada sunroof-nya atau tidak, apa kelengkapan head unit bawaannya, punya ‘cruise control’ atau tidak, ring velg yang digunakan ukuran berapa. Setelah mempertimbangkan segala hal, Anda pun memutuskan membeli tipe yang lebih mahal dari yang standard. Ada sensasi tersendiri ketika melakukannya.

Di saat yang sama, Anda memikirkan sensasi lain: Perasaan saat dipuji saudara atau teman, “Wuih mobil barunya keren banget!” Sebelum semua itu terjadi, otak Anda sudah membuat simulasinya. Anda pun tersenyum.

Mungkin anda suka

Pernah mengalami hal seperti itu? Saya kira, kemungkinan besar Anda pernah mengalaminya. Mungkin peristiwa dan kasusnya berbeda saja. Bisa tentang membeli rumah, handphone, jam tangan, atau sekadar memilih paket perjalanan. Diam-diam kita mengidap penyakit mental kecil-kecilan yang kalau dibiarkan bisa makin menggila: sensation-seeking.

Media sosial memperparah kecenderungan ini. Setiap hari otak kita dilatih untuk bergerak dari satu sensasi ke sensasi lainnya. Rasa bahagia, marah, sedih, kecewa, kita cenderung memperbesar skala perasaan-pesaan itu dengan terus menggali ke kedalaman timeline, mencari cerita dan orang-orang yang memiliki sensasi dan pengalaman yang sama. Sekadar untuk memvalidasi sensasi perasaan dan pikiran tertentu kepada diri sendiri. Been there done that.

Saya punya seorang teman yang mempertaruhkan segala hal untuk mendapatkan satu posisi atau jabatan di tempat kerjanya. Seolah hidup akan berakhir kalau dia tak mendapatkan peran yang diinginkannya itu. Setiap hari pikirannya mensimulasikan apa rasanya berada di posisi itu, bagaimana orang-orang akan memandang dan memperlakukannya, apa kata orang tentang pangkat barunya itu. Dia menyukai sensasinya.

Singkat cerita, posisi yang dia idam-idamkan di tempat kerja pun tercapai. Betapa bangga dan bahagianya dia. Orang-orang menyelamatinya, bahkan mengirimkan bunga dan kartu ucapan. Apa yang pernah ia bayangkan tentang semua itu terwujud. Dia suka sensasi saat orang-orang bersikap seperti itu kepadanya.

Namun, sebagaimana sifat alamiah dari sebuah sensasi, ia akan hilang dan memudar. Dalam kasus membeli rumah atau mobil baru, mendapatkan jabatan baru, atau setelah mencapai hal-hal besar dalam hidup, semua sensasi hanya bertahan maksimal satu bulan.

Selanjutnya hidup akan kembali pada natur awalnya: Orang-orang tak takjub lagi pada apa yang kita miliki, tak ada ucapan selamat lagi, tak ada tatapan mata yang berbeda melihat apa yang ada pada diri kita. Sisanya tinggal beban-beban: Rumah harus diurus, mobil harus dirawat, amanah jabatan harus dikerjakan dengan segala tanggung jawabnya. Hal-hal yang tidak sempat kita simulasikan baik-baik sebelumnya, karena nyaris tak ada sensasinya.

Demikianlah, entah bagaimana kita jadi orang-orang dan masyarakat yang memiliki adiksi pada sensasi. Lihatlah di media sosial, mulai dari Instagram sampai Youtube. Bahkan orang-orang yang berdebat mengeluarkan argumen ilmiah ndakik-ndakik di Twitter, hampir semua dari mereka adalah sensation-seeker yang boleh jadi sudah berada di tahap kecanduan.

Jadi harus bagaimana agar kita tak terlalu adiksi pada sensasi? Mungkin kita perlu lebih banyak waktu untuk merenung, menarik diri dari keramaian, melihat sisi lain dari hal-hal yang gemerlap dan sensasional dari dunia di sekeliling kita.

Di balik mobil keren yang mahal, pasti ada biaya perawatan yang mahal pula. Di balik rumah megah nan mewah, ada pajak besar yang harus dibayar. Di balik barang-barang branded, mungkin ada tagihan kartu kredit. Di balik semua status, jabatan, posisi, pangkat, ada tanggung jawab yang tidak mudah. Kita harus menjadi pribadi yang untuh yang bisa mensimulasikan semua pikiran dan perasaan, mengantisipasi segala bentuk pengalaman yang akan terjadi.

Saya pun belum begitu. Kadang masih mengejar-ngejar sensasi, karena rasanya luar biasa. Bikin nagih. Pengin lagi dan lagi. Ternyata agama yang membuat kita sadar, memaksa kita menarik diri, menepuk pundak dengan lembut: “Hey, jangan begitu. Mau apa sih? Apa yang sebenarnya kamu cari? Apa-apa yang menurutmu baik, belum tentu baik menurut Allah. Apa-apa yang menurutmu buruk, belum tentu buruk menurut Allah.”

Jangan jadi budak sensasi. Jadilah tuan bagi dirimu sendiri.

FAHD PAHDEPIE

Back to top button