News

Abu Barakat Al-Baladi, Jenius Kedokteran Lawan Debat Utama Ibnu Sina

Ahli ilmu kedokteran yang juga seorang filosof ini sebenarya lahir sebagai seorang Yahudi, namun kemudian di usia matang ia menyatakan diri masuk Islam. Itu sebabnya tatkala masih di dunia Yahudi konon beliau tak jarang menemui banyak hambatan (psikologis, tradisi atau agama) dalam berhubungan dengan pasien-pasien dan keluarga istana yang umumnya Muslim.

Makanya, kata sejumlah biografer, “Ia putuskan saja menjadi seorang Muslim”. Apalagi semenjak mangkatnya permaisuri Sultan Mahmud yang berada dalam pengawasan dan perawatannya. Tapi ada pula yang mengatakan bahwa keputusannya untuk murtad dari agama Yahudi adalah gara-gara kehidupannya yang terancam sebagai tawanan perang selama pertempuran, tatkala pasukan Khalifah al-Mustarshid ditekuk oleh opsir-opsir Sultan Mas’ud. Entah versi mana yang benar.

Abu’l  Barakat Hibat Allah b. Malka al-Baghdadi al-Balas amat tersohor sebagai seorang dokter berbakat cemerlang. Malahan disebut sebagai “tiada duanya di zamannya” (Ahwad al Zaman; “Unique of his time”). la lahir di Balad, tak jauh dari Rosul, pada sekitar tahun 470/1077. Di samping membuka klinik sendiri, ia pun melayani para khalifah dan pembesar-pembesar negeri Bagdad tempatnya menetap, termasuk para Sultan Seljuk, sebagai dokter pribadi atau dokter keluarga.

Di akhir-akhir hayatnya, kedua mata Abu Barakat mengalami kebutaan dan menghirup nafas penghabisannya pada tahun-tahun sesudah tahun 560/1164 – 1165.

Salah satu murid dan kader gemblengannya yang terbaik, sekaligus kawan sejawatnya adalah Ishaq bin Abraham bin Ezra. la sempat menyusun buku dalam bahasa Yahudi yang  berisi, antara lain, puji-pujian atas prestasi-prestasi yang telah diraih sang maharesi ketabiban tersebut.

Karya-karya terbesamya antara lain “Kitab al Mu’tabar” yang membahas tentang logika, naturalia (termasuk di dalamnya psikologi) dan metafisika diterbitkan dalam tiga volume oleh Serefettin Yaltkaya, Hyderabad, 1358/1939. Terdapat pula syarah atau komentar ilmiahnya yang rinci dan amat filosofis tentang “Surat-surat dalam perjanjian lama” (disusun dalam bahasa Arab).

Risalah-risalah yang lebih “kecil” daripada “Kitab al Mu’tabar” di atas antara lain: “Risalah Fi Sabab Zuhur al Kawakib Laylan wa khafa’iha Naharan” diterjemahkan oleh E. Wiedeman, dalam “Eders jahrbuch fir photographice” 1909. Tapi sebuah judul yang agak beda “Ru’ya al Kawakib bi’l layl la bi’l Nahar” dipandang sebagai karya Ibnu Sina.

Di dalam “al Mu’tabar” yang ditambah atau diperagakan dalam bagian besar pada kitab “Shifa“nya Ibnu Sina, Abu Barakat mengambil alih sejumlah tesis dari buku tersebut dan mengutipnya secara harfiah. Tapi di saat yang sama diserangnya pula tesis-tesis lain yang sangat esensial, terutama dalam bidang fisika. Dan yang jelas bahwa metode dan pembahasan dalam karya besarnya itu sangatlah filosofis. Metode semacam itu pula yang mengantarkannya untuk menegaskan kepada sekalian pendukung faham dan teori ruang Aristoteles, eksistensi suatu ruang berdimensi tiga.

Bersama John Philopurus dia menyanggah dan mampu membuktikan kekeliruan proposisi yang menjadikan kemungkinan (adanya) pergerakan dalam ruang hampa. Setelah mendemonstrasikan pikiran yang salah dan argumen-argumen yang berbelit-belit dan meluruskannya, ia lantas membuktikan ketidakberhinggaan (infinitas) ruang melalui ketidakmungkinan seorang memahami suatu ruang yang terbatas.

Demikian pula halnya seruan kepada pengetahuan apriori tentang pikiran manusia yang Mendorong Abu Barakat untuk menjelaskan soal “waktu”. Menurutnya penyelesaian tuntas tentang hal tersebut lebih bergantung pada metafisika, bukan hanya pada fisika. Dengan demikian waktu merupakan ukuran tentang “ada”, bukan ukuran mengenai pergerakan.

Dia tidak mengenal perbedaan tingkat-tingkat waktu yang beragam, tahapan-tahapan zaman, dan sebangsanya seperti yang disangkakan oleh Ibnu Sina dan filosof besar lain. Jadi waktu mencirikan adanya pencipta (al-Khaliq) dan yang dicipta (al-Makhluq).

Abu Barakat yang otoritasnya didukung oleh seorang ilmuwan Yahudi dari Irak Samuel bin Ali, dalam polemiknya dengan Maimonides, beroleh sokongan dari kaum Muslimin,  di antaranya Ali al-Dawla Faramurz bin Ali, seorang pangeran dari Yazd. Pangeran inilah yang membela sang dokter filosof dan doktrinnya dalam sebuah karyanya berjudul “Muhjat al-Tawhid“, dan juga dalam suatu perdebatan sengit dengan Umar Kayyam.

Pengaruhnya terhadap seorang tokoh, Fakhruddin ar-Razi, tampaknya cukup meyakinkan. Ini terutama mencolok dalam buku “al-Mabahith al-Mashrikiyya” Karya agung ar-Razi, serta pada pengaruh historisnya yang besar. Begitu pula hasil observasi Muhammad bin Sulaiman al-Tanakabuni, seorang penulis asal Persia abad 19 yang pada intinya menyatakan bahwa tradisi lbnu Sina nyaris kolaps gara-gara serangan bertubi-tubi dari Abu’l Barakat dan Fakhruddin Razi, sebelum diselamatkan dan ditegakkan kembali oleh Nasir al-Din al-Tusi. [  ]

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button