Tuesday, 08 July 2025

Polisi Tembak Kerumunan Pengunjuk Rasa, 11 Orang Tewas

Polisi Tembak Kerumunan Pengunjuk Rasa, 11 Orang Tewas


Bertepatan dengan peringatan 35 tahun gerakan pro-demokrasi ‘Saba Saba’, Senin (7/7/2025), gelombang demonstrasi di Kenya yang semula damai berubah menjadi tragedi berdarah. Polisi menembakkan peluru tajam untuk membubarkan massa, menyebabkan setidaknya 11 orang tewas di berbagai wilayah Kenya. Selain itu, lebih dari 50 petugas polisi juga dilaporkan terluka.

Insiden terbaru ini menambah daftar panjang kekerasan dalam serangkaian protes anti-pemerintah yang telah melanda Kenya sejak tahun lalu. Kemarahan publik semakin memuncak menyusul kematian Albert Ojwang, pria 33 tahun yang berprofesi sebagai seorang blogger dan guru, yang meninggal dalam tahanan polisi pada Juni lalu.

Kematian Ojwang memicu gelombang protes baru yang menuntut keadilan dan mengecam kebrutalan aparat.

Laporan Reuters di kawasan Kangemi, Nairobi, menggabarkan pemandangan mengerikan saat polisi melepaskan tembakan ke arah demonstran yang bergerak maju. Seorang pria terlihat tergeletak tak bergerak di jalan dengan luka tembak menganga, menjadi saksi bisu kekerasan yang terjadi.

Beberapa fasilitas kesehatan juga menjadi saksi bisu dampak kekerasan ini. Rumah Sakit Eagle Nursing Home di Kangemi melaporkan enam orang dirawat karena luka-luka, dan dua di antaranya meninggal dunia akibat tembakan. Sementara itu, Kenyatta National Hospital menangani setidaknya 24 korban luka.

Polisi dan Kelompok Bersenjata Turun Bersama

Kepolisian Kenya secara resmi mengonfirmasi adanya 11 korban jiwa, serta menyebut terjadinya ‘kerusakan kendaraan, penjarahan, dan kekerasan di berbagai lokasi’. Namun, pihak berwenang tidak merinci siapa yang bertanggung jawab atas tewasnya para demonstran.

Yang menjadi sorotan adalah temuan mengejutkan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya (KNCHR) yang didanai pemerintah. Mereka melaporkan adanya kelompok tak dikenal bersenjata cambuk dan parang yang terlihat beroperasi berdampingan dengan polisi di Nairobi dan kota Eldoret, wilayah Lembah Rift.

“Banyak petugas bertopeng, tidak berseragam, dan menggunakan kendaraan tanpa tanda resmi,” ungkap KNCHR.

Temuan ini menjadi lebih mencemaskan mengingat pengadilan sebelumnya telah memerintahkan agar seluruh petugas penegak hukum dapat diidentifikasi saat bertugas, menyusul dugaan penembakan dengan peluru tajam oleh polisi berpakaian sipil tahun lalu.

Demonstrasi Meluas, Akses Jalan Diblokir-Sekolah Libur

Aksi protes tidak hanya terpusat di ibu kota Nairobi. Media lokal melaporkan bentrokan juga pecah di kota Nyeri, Embu, dan Nakuru. Di Nakuru, polisi berkuda harus membubarkan demonstran yang melempari batu. Untuk mengantisipasi kerusuhan lebih lanjut, sejumlah sekolah dan pusat perbelanjaan di beberapa tempat terpaksa ditutup.

Di Nairobi, polisi memblokade sejumlah akses utama menuju pusat kota dan membatasi pergerakan lalu lintas. Jalanan tampak lengang, hanya dipenuhi para demonstran yang datang dengan berjalan kaki. Pihak berwenang menggunakan gas air mata dan meriam air untuk membubarkan massa yang berbaris dari Kangemi menuju pusat kota.

Menteri Dalam Negeri Kipchumba Murkomen kembali menegaskan sikap tegas pemerintah. Ia menyatakan pemerintah tidak akan membiarkan aksi yang menurutnya ‘disusupi oleh elemen kriminal’.

“Lembaga keamanan kami dalam siaga tinggi untuk menghadapi siapa pun yang ingin menimbulkan kekacauan dan menghancurkan properti,” kata Murkomen sehari sebelum aksi berlangsung.

Bulan lalu, Murkomen bahkan sempat menyebut demonstrasi semacam ini sebagai ‘terorisme yang menyamar sebagai protes’.

‘Saba Saba’ dan Kematian Albert Ojwang yang Picu Kemarahan

Protes ‘Saba Saba’ yang diperingati setiap tanggal 7 Juli memiliki makna sejarah penting bagi Kenya. Ini adalah bentuk penghormatan atas perjuangan rakyat Kenya menuntut sistem multi-partai pada 1990 silam, saat itu di bawah rezim otoriter Presiden Daniel Arap Moi.

Protes kala itu menjadi titik balik yang mengarah pada pemilu multipartai pertama dalam lebih dari dua dekade.

Namun, semangat ‘Saba Saba’ kini kembali menyala, dipicu oleh kematian Albert Ojwang yang kini dianggap sebagai simbol penindasan terhadap kebebasan sipil. Dalam unjuk rasa memperingati satu tahun protes besar pada 25 Juni lalu, 19 orang juga dilaporkan tewas.

Enam orang, termasuk tiga anggota kepolisian, telah didakwa atas kematian Ojwang. Mereka kini telah mengajukan pembelaan ‘tidak bersalah’ di pengadilan.

Ikhsan Suryakusumah