Friday, 28 June 2024

26 Tahun Reformasi, Aktivis Gelar Pertunjukan 2000 Tengkorak dan Kuburan Korban Pelanggaran HAM

26 Tahun Reformasi, Aktivis Gelar Pertunjukan 2000 Tengkorak dan Kuburan Korban Pelanggaran HAM


Para aktivisi, penggiat hak asasi manusia (HAM) hingga korban pelanggaran HAM menggelar aksi instalasi peringatan 26 Tahun Reformasi serta napak tilas pelanggaran HAM era Orde Baru di Markas Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Jl. Diponegoro No.72 Menteng Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2024). Terdapat pertunjukan 2.000 tengkorak dan 1000-an kuburan.

Aksi ini bercerita tentang kekerasan rezim Orde Baru yang menurut berbagai literasi membantai lebih dari 500.000 jiwa dalam sekian banyak peristiwa berdarah baik untuk kepentingan politik maupun ekonomi kekuasaan dan kroninya.

Adapun, sejumlah kasus pelanggaran HAM yang menjadi sorotan hingga saat ini di antaranya Penembakan Misterius 1982, Rumah Heudong 1989, Kasus Sutet, Pembunuhan Munir, Udin Bernas, Marsinah, Pembunuhan Massal 1965, Poso dan Sampit.

Berdasarkan pantauan di lokasi, mahasiswa, pejabat negara, media, dosen, fotografer, dan pembuat konten media sosial begitu antusias melihat penampakan pertujukan 2.000 tengkorak dan 1000-an kuburan di berjejer di halaman markas Front Penyelamat Reformasi Indonesia.

Mereka juga terlihat memperhatikan satu per satu instalasi kuburan yang terbuat dari papan triplek. Di setiap instalasi kuburan itu juga terdapat sejumlah nama korban pelanggaran HAM, di antaranya Munir, Widji Thukul, Marsinah hingga Udin Bernas.

Taburan bunga juga mewarnai instalasi kuburan yang ada di sana. Sebuah bendera merah putih dengan warna sudah mulai pudar juga terpampang di atas tumpukan instalasi tengkorak.

Aroma dupa juga tercium menyengat di lokasi acara. Hal ini menambah suasana muram kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung terselesaikan hingga saat ini.

Di bagian panggung, terdapat seruang peringatan 26 tahun reformasi ‘Kami Masih Akan Terus Melawan’.

Koordinator Perhimpunan Aktivis 98 Fauzan Luthsa mengatakan, aksi ini digelar bukan hanya sebagai peringatan reformasi, tetapi mengingatkan bahwa para aktivisi dan para korban pelanggaran HAM masih ada dan terus melawan.

Apalagi, dia juga menyoroti kondisi demokrasi saat ini yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja.

“Kami menganggap hal ini harus terus dilanjutkan agar pemerintahan saat ini atau pemerintah nanti tidak akan mencoba memutarbalikan sejarah,” kata Fauzan Luthsa menekankan.